Posted on 13 Januari 2016
Filsuf Immanuel Kant pernah berkata, “Ada dua hal yang membuatku kagum, langit berbintang, dan hukum moral di hatiku”. Dan langit berbintang itulah yang saya lihat di kawasan Gunung Ijen, Jawa Timur, saat saya bersiap mendaki ke puncak kawahnya. Sebagai anak kota, atau city boy, yang lahir dan dibesarkan di tengah gemerlap lampu ibu kota, melihat langit yang penuh sesak dengan bintang gemintang adalah sebuah kemewahan. Dan tentunya, sebuah keindahan.
Pukul 00.30 di Pos Paltuding, saya memulai pendakian ke kawah gunung Ijen. Kawah Ijen, yang terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi itu, adalah satu keindahan gunung berapi di Indonesia yang wajib dilihat, terutama bagi pecinta fenomena alam. Kawah itu berada pada ketinggian 2388 meter di atas permukaan laut.
Sebelum mendaki, kita diperingatkan oleh pemandu bahwa medan yang akan dilalui tidak ringan. Kita diperingatkan untuk berhati-hati.
Perjalanan ke atas kawah memang tidak mudah, terutama bagi saya yang bukan seorang pendaki gunung. Saya harus berjalan kaki sepanjang tiga kilometer. Medan yang ditempuh juga mendaki, bahkan sekitar 1,5 kilometer di antaranya, adalah jalan yang menanjak 45 derajat. Duh, andai ada gondola yang bisa mengangkut kita hingga puncak ya (sambil mengkhayal).
Berbeda dengan kondisi di Gunung Bromo yang banyak terdapat ojek atau kuda, di Ijen suasananya lebih “suci”, dalam arti bersih dari kendaraan, juga pedagang. Kita hanya bisa berjalan kaki untuk menuju puncaknya. Apabila kita berangkat dari Banyuwangi, mobil hanya diperkenankan sampai pos Paltuding, di kaki pegunungan.
Tapi, dengan berjalan kaki itulah saya justru menemukan keheningan. Hanya ada saya, gunung, dan langit berbintang. Meski naik mendaki bersama kawan-kawan, kita menahan diri untuk tidak banyak berbicara untuk menghemat energi. Sesekali saja, kawan saya Gde, yang sudah beberapa kali naik gunung Ijen, memberi semangat. “Tinggal bentar lagi pak, sedikit lagi menanjaknya”. Lumayan membangkitkan semangat.
Waktu terbaik mendaki Gunung Ijen adalah di musim kemarau, sekitar bulan Mei hingga Oktober, saat dini hari hingga pagi. Kalau kita bisa tiba di puncak kawah sebelum matahari terbit, kita dapat menyaksikan “Blue Fire” atau “Api Biru, sebuah fenomena alam yang sangat indah.
“Blue fire” memang menjadi tujuan kami mendaki. Api berwarna biru tersebut adalah api yang tercipta dari semburat belerang cair dari dalam kawah Ijen. Panasnya kawah yang berpadu dengan belerang menciptakan efek api berwarna biru di permukaan. Fenomena ini hanya bisa disaksikan sebelum matahari terbit. Oleh karena itu, kita harus melakukan pendakian, setidaknya mulai pukul 01.00 dari pos Paltuding.
Setelah melalui perjuangan mendaki yang lumayan “ngos-ngos-an”, saya tiba di puncak kawah pada sekitar pukul 03.30. Dan di puncak itulah, saya menyaksikan “blue fire” dengan mata kepala sendiri.
Blue fire adalah sebuah fenomena, yang mampu membuat saya ternganga dan kagum terus menerus. Semburat panas dari kawah mengeluarkan kilatan api berwarna biru. Menjilat-jilat udara di atasnya. Rasa lelah mendaki, rasa gigil karena angin dingin pegunungan, semua sirna dan hilang saat melihat keindahan di bawah sana.
Saat matahari terbit, saya melihat keindahan lainnya, yaitu danau kawah Ijen dengan jelas. Danau yang terbentuk dari letusan gunung berapi sekitar 2500 tahun lalu itu, memiliki air berwarna hijau toska. Sungguh indah. Danau kawah Ijen adalah danau yang memiliki keasaman tinggi, dan merupakan danau vulkanik terbesar di dunia. Dengan kedalaman hingga 200 meter dan luas lebih dari 5000 hektar, danau kawah ijen adalah sebuah fenomena.
Saat mentari bersinar itulah, saya bisa melihat aktivitas penambangan belerang di kawah Ijen. Para penambang memanggul bongkahan belerang di dasar kawah kemudian memanggulnya ke bawah untuk dikumpulkan pada perusahaan penambangan. Rata-rata seorang penambang, bisa mengangkut antara 50 hingga 90 kilogram belerang sekali jalan. Dan hebatnya, mereka bisa berjalan dengan cepat untuk naik turun gunung.
Saat saya bersusah payah mengatur nafas turun dari kawah, karena medan yang curam, seorang kakek tua dengan ringannya menyalip saya sambil memanggul 80 kilogram belerang. Oh noooo !!
Beberapa tahun lalu, para penambang ini bekerja dengan penuh risiko tanpa dilindungi oleh asuransi jiwa. Namun, Bupati Banyuwangi saat ini, Abdullah Azwar Anas, membuat kebijakan agar seluruh penambang belerang dilindungi oleh asuransi. Syukurlah, karena tugas mereka sangat penuh dengan risiko.
Kawah Gunung Ijen, dan fenomena Api Biru adalah satu dari hal terindah yang pernah saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Meski perjuangan mencapai ke sana lumayan berat, kesemuanya terhapus dengan keindahan di puncaknya.
0 komentar:
Posting Komentar